Sejak awal mula kelahiran Kongregasi SSCC dan dalam perkembangan sampai saat ini, salah satu karisma yang sering ditekankan kepada setiap anggota SSCC sebagai sebuah kesaksian hidup religius adalah zeal. Jika kita mengatakan bahwa zeal adalah sebuah karisma, maka hal itu selalu menjadi bagian dari cara atau model hidup menurut Injil. Di sana terkandung rahmat Allah (Wahyu) dan partisipasi manusia (Iman) sehingga karisma itu sungguh memberi daya hidup yang transformatif dan inspiratif.
Para pendiri Kongregasi SSCC seringkali menekankan kata zeal untuk menggambarkan apa yang sedang mereka hidupi dan apa yang mereka ingin hidupi. Dan memang aspek ini telah membingkai dan merangkum seluruh hidup kerasulan mereka di tengah masa Revolusi Prancis waktu itu. Jika zeal itu tidak mengakar dalam kesaksian hidup mereka, mungkin saja misi Kongregasi ini menjadi pincang dan tak berdaya.
Pada tahun ini, SSCC Indonesia menawarkan tema zeal sebagai topik refleksi dalam retret yang tidak bisa dilaksanakan karena situasi bangsa kita yang dilanda Covid 19. Namun demikian, masing-masing anggota SSCC dengan caranya sendiri mengambil waktu di masa “karantina” ini untuk merefleksikannya. Dalam nuansa yang sama, saya pun menggunakan kesempatan ini untuk merefleksikan dan membahas sekilas apa sebenarnya zealitu dalam Kitab Suci, pengalaman para pendiri dan dalam konstitusi Kongregasi SSCC.
Definisi “Zeal”
Zeal berasal dari kata Yunani zelos dan spoude. Zelos berarti “menjadi panas” atau “mulai mendidih”. Zelos diterjemahkan dari kata Ibrani “in’ah”, yang merujuk pada kemerahan yang muncul di wajah seseorang yang bersemangat. Kata spoude memperkaya gagasan tentang keinginan dan hasrat yang kuat serta mengacu kepada pengabdian yang sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu[1]. Kata yang paling dekat dan hampir setara dengan zeal adalah passion karena kata passion juga mencakup semua kekuatan ekspresif yang dimiliki zeal. Dari sini kita akan memahami zeal dan passion sebagai kemampuan manusia untuk memusatkan perasaan atau minat pada suatu hal, proyek, atau pribadi secara eksklusif[2]. Tampaknya kata zeal yang diadopsi menjadi karisma SSCC menangkap semua pengertian semacam itu.
Zeal dalam Kitab Suci
Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan bahwa Di gunung Sinai Allah menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel serta mengikat perjanjian dengan mereka: Orang Israel harus melaksanakan Torah (yaitu bermakna “hukum”, “instruksi”) Allah dan sebagai balasannya, Ia akan menjadi Allah mereka serta memberikan kepada mereka tanah Kanaan sebagai milik pusaka. Agar perjanjian antara Yahwe dan bangsa Israel itu terus berlangsung, maka dibutuhkan kesetiaan kedua belah pihak pada perjanjian itu. Namun, pada kenyataannya, bangsa Israel tidak setia pada perjanjian itu. Meskipun demikian, Allah tidak putus asa melainkan selalu setia. Allah tetap memiliki zeal untuk menyelamatkan bangsa Israel dengan terus menerus mengutus para nabi untuk mewartakan pertobatan. Berulang-ulang bangsa Israel menyakiti Allah dengan cara menyembah berhala. Berulang kali juga Allah memberikan kesempatan kepada bangsa Israel untuk bertobat (Yer 13: 15-17). Yahwe adalah Allah yang selalu berpegang teguh pada cinta kasihNya. “Ia mengampuni dosa-dosanya dan bahkan ketidaksetiaan dan pengkhianatan. Ketika Allah mendapati Israel menyesal dan benar-benar bertobat, Ia membawa bangsanya kembali kepada keadaan berahmat (Dives in Misericordia No.4).
Zeal Allah itu kemudian mendesak para nabi untuk mempunyai sikap yang sama. Hal ini tampak dalam perutusan para nabi yang meskipun mereka dicela, ditolak, bahkan dibunuh, namun mereka tetap memiliki zeal untuk mewartakan pertobatan. Dari sini kita melihat bahwa zeal itu berarti bahwa sikap yang sungguh-sungguh dibimbing oleh kehendak Allah. Kita bisa menemukan zeal ini dalam ungkapan Pemazmur yang mengatakan: “sebab cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku, Mzm 69:10”. Begitu juga nabi Elia yang mengatakan kepada seluruh rakyat: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia”, 1 Raj-Raja 18:21. Intensitas dan keseriusan yang diwartakan para nabi itu menunjukan zeal supaya hubungan antara Allah dan manusia dipulihkan kembali. Maka dari itu hukum, aturan, perintah (misalnya 10 perintah Allah) dimaknai sebagai Zeal Allah sendiri supaya umat manusia tidak jatuh kedalam dosa. Zeal Allah menunjukkan kepada kita Allah yang sepenuhnya mengabdi kepada umatNya.
Zeal Allah itu tidak dipengaruhi oleh ketidaksetiaan manusia. Kasih itu lebih kuat daripada pengkhianatan dan rahmat itu lebih kuat daripada dosa[3]. Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, “akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr 1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal ditengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh 1:1-18), DV 4. Karena kasih Allah yang tanpa batas itu, Ia hadir di tengah-tengah manusia dalam diri Yesus Kristus supaya manusia memperoleh keselamatan. Maka dari itu, tidak diragukan lagi bahwa Yesus Kristus mempunyai Zeal untuk melakukan Kehendak Bapa sebagaimana dikatakan dalam Yohanes 4:34: “kata Yesus kepada mereka: “MakananKu ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya”. Ada dua aspek utama yang melatarbelakangi Zelotisme Kristus yakni karena cinta dan demi keselamatan manusia. Dengan dua landasan itu zeal Kristus tidak pernah padam oleh ketidaksetiaan, pengkhianatan, keserakahan, dan dosa-dosa manusia. Bahkan Kristus rela menderita dan disalibkan karena cinta kepada manusia. Salib sebagai puncak zeal Allah yang datang untuk memulihkan relasi antara Allah dan manusia. Maka benar apa yang dikatakan Yesus: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya, Yoh 15:13”. Puncak zeal itu ketika orang sungguh memberikan diri sepenuhnya bagi Kerajaan Allah, bahkan nyawanya sendiri. Namun, perlu digarisbawahi bahwa motivasi seorang zealot bukan demi kematian, tetapi kematian adalah konsekwensi yang tidak terhindarkan dari pemberian diri yang sepenuhnya. Dalam hal ini, Santo Damian telah menunjukkan aspek itu.
Zeal memiliki arti positif dan juga negatif. Zeal dalam arti negatif jika mempunyai ancaman serius bagi komunitas yaitu iri hati dan perselisihan (1 Kor 3:3). Hal ini tampak dalam kehidupan Saulus sebelum berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Ia memiliki semangat yang berkobar-kobar (zeal) demi tadisi Yahudi dan hukumnya dengan cara menganiaya orang-orang Kristen. Zeal itu kemudian menuntun Saulus menjadi seorang penganiaya. Yang dipersoalkan dalam diri Saulus bukanlah zeal dalam dirinya tetapi cara yang ia lakukan tidak bisa dibenarkan yaitu dengan cara menganiaya dan membunuh orang lain.
Peristiwa perjumpaan dengan Yesus Kristus yang bangkit mengubah zeal Paulus dari pengertian yang negatif kepada pengertian yang positif. Paulus mendesak pendengarnya untuk memiliki zeal untuk Kristus. Dalam pengalaman religius yang mendalam itu, semua energi dan hasrat yang salah arah itu difokuskan pada kasih dan belas kasihan Allah yang besar yang dinyatakan dalam Yesus. Pengalaman perjumpaan dengan Kristus mengantar Paulus mewartakan Kristus yang bangkit. Paulus mengatakan: “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah, 1 Kor 1: 22-24”.
Landasan zeal Paulus mewartakan Kristus karena pengalaman perjumpaan itu. Pejumpaan dengan Kristus yang bangkit menjadikan ia memfokuskan seluruh dirinya pada pewartaan Kristus dan bukan lagi tentang kepentingan pribadi atau dunaiwi. Paulus dalam suratnya mengatakan: “Aku telah disalibkan dengan Kristus, namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”(Gal 2: 20a). Atau dalam Filipi 3:7: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus”. Dari situ zeal dipahami sebagai totalitas hidup yang diberikan hanya untuk Kristus dan Kerajaan Allah, dan bukan lagi tentang kepentingan diri.
Konsekwensi dari zeal Paulus adalah penderitaan. Tak diragukan lagi bahwa Paulus sering keluar dan masuk penjara karena pemberitaan injil. Bahkan Paulus sendiri mengungkapkan dalam Fil 1:21: “karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”. Dalam Fil 1:12-26, Paulus menasehati jemaat di Filipi bahwa penderitaan yang dialaminya justru menyebabkan kemajuan injil (Fil 1:12). Ia juga mengatakan: “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa kau dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku, Fil 1:20”. Kesaksian hidup Paulus itu merupakan bukti zeal-nya sebagai rasul yang memberitakan Kristus yang bangkit. Kesadaran Paulus atas rasa bersalahnya sebagai penganiaya jemaat tidak membuatnya terperangkap dalam sikap mengasihani diri, demikian penolakan terhadap keuntungan, masa lalunya tidak membuatnya beku dan tidak bekerja. Sebaliknya anugerahNya yang menghancurkan keangkuhanya telah memperbarui dan mengarahkan semangat pelayananya[4]. Hal itu yang menjadi dasar zeal dalam pelayanannya meski ia harus menanggung berbagai penderitaan dan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya.
Zeal dalam Pengalaman Pastor Coudrin, SSCC & Sr. Henriette, SSCC
Zeal dalam Kongregasi SSCC memiliki dua aspek. Pertama, belaskasih Allah dan kasihNya kepada dunia. Kedua, merujuk pada “apostolic zeal” atau “missionary zeal”[5]. Aspek pertama menekankan Siapa Allah itu sebenarnya? Dan aspek kedua menekankan bagaimana kita dipanggil untuk menghidupi apostolic zealitu sebagai religius SSCC. Dalam pengalaman para pendiri dua dimensi itu yang menjadi tekanan paling penting.
Konteks di mana para pendiri hidup (Pastor Coudrin, GF & Sr. Henriette, GM) terjadi sebuah pergolakan politik di Prancis yang biasa disebut dengan Revolusi Prancis ((1789-1799). Pada masa itu, Gereja mengalami banyak ancaman dan pergolakan. Banyak orang, termasuk imam, biarawan-biarawati, dan awam ditangkap, dianiaya, dan dibunuh secara kejam. Di situlah Good Fahter dan Good Mother menemukan Gereja yang sedang pincang, terluka, dan tak berdaya. Konteks itu juga membuat Para Pendiri melakukan pelayanan dengan sembunyi-sembunyi (Clandestine Ministry). Pelayanan itu mereka lakukan di dalam penjara, di perkampungan Montbernage yang berada di pinggiran kota Poitiers, dan di Rumah Sakit. Sejak awal semangat apostolik merupakan salah satu ciri khas dari Pastor Coudrin. Tahun-tahun pertama pelayanannya, ia berbicara tentang semangat dan hasratnya untuk selalu memberitakan Injil di mana-mana. Inilah yang dia sebut sebagai zeal (Lih. Aturan Hidup 23-27). Pastor Coudrin pernah mengatakan bahwa zeal adalah salah satu ciri khas seorang rasul di masa ketika bahtera Gereja dan dunia diguncang oleh badai”. Itu adalah pandangan yang ia miliki di mana ia hidup. Sebagaimana juga dikatakan dalam memoarnya dengan judul Zealots: “Orang tidak lagi memahami apa artinya Kasih Allah itu”[6].
Revolusi Prancis telah mengancam kehidupan banyak orang termasuk Pastor Coudrin. Akibatnya ia pun harus menyelamatkan diri dengan bersembunyi di sebuah loteng yang sempit dan sederhana selama lima bulan. Selama lima bulan itu, Pastor Coudrin merayakan Ekaristi, adorasi, membaca Kitab Suci dan sejarah Gereja. Relasi yang mendalam dengan Allah membuat Pastor Coudrin semakin peka dan kagum dengan Kasih dan belaskasih Allah yang tak terbatas bagi umatNya. Cita rasanya akan belaskasih Allah menjadi sumber penyerahan dirinya dengan penuh semangat dan keberanian. Ia memiliki hasrat bagi Allah yang memberikan diriNya bagi manusia. Menghasrati Kasih Allah menggerakkan Pastor Coudrin untuk memberikan dirinya kepada sesama. Dalam hal itu, zeal-nya merupakan tuntutan yang tak terhindarkan dari tanggapan terhadap kasih Allah. Efeknya adalah bahwa zeal itu mengarah pada komitmennya yang radikal untuk melayani Allah dan sesama. Aspek itu tampak dari keputusan radikal yang dibuatnya melalui penyerahan dirinya di bawa pohon Ek ketika ia hendak keluar dari tempat persembunyiannya. Pastor Coudrin mengatakan:
“Akhirnya saya meninggalkan rumah Maumain. Saya berlutut di kaki pohon ek yang tidak jauh dari rumah, dan saya menyerahkan hidup saya. Saya menjadi imam dengan maksud untuk menderita, mengorbankan diri untuk Allah dan, jika perlu, kematian dalam pelayanan-Nya. Namun, saya punya firasat tertentu bahwa saya akan diselamatkan”[7].
Dari situ kita dapat memahami bahwa zeal itu berarti memiliki keberanian dan ketekunan di tengah kesulitan, mempertahankan dan merawat harapan meskipun gagal serta tetap berdiri di tengah badai kehidupan. Zeal semacam itu semakin memperjelas makna dari apa yang kita sebut “anak-anak salib”. Tujuan dari zeal itu adalah menuntun orang lain untuk percaya dan mengasihi Allah. Dengan kata lain, menjadi anggota religius sscc berarti kita dipanggil untuk menjadi saksi kemurahan hati Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus kepada mereka yang tak berdaya, menderita, dan miskin. Karena aspek itulah yang menjadi fokus pelayanan dari Pastor Coudrin di masa Revolusi Prancis yaitu di penjara, rumah sakit, dan wilayah pinggiran kota Poitiers (Montbernage).
Begitupun dengan Sr Henriette yang memulai hidup yang baru di dalam penjara. Di tengah kesulitan dan penderitaan yang ia alami di dalam penjara tidak membuat ia kehilangan harapan tetapi terus memotivasi, memberi penghiburan dan kekuatan bagi orang-orang yang berada di dalam penjara. Melalui kolaborasi antara Pastor Coudrin dan Sr Henriette, komunitas orang-orang terpanggil itu lambat laun semakin bertumbuh dan berkembang dengan banyaknya komunitas-komunitas dan berbagai bentuk pelayanan. Tak diragukan lagi bahwa ungkapan: “aku ingin terbakar seperti lilin” oleh Sr Henrriette dalam sebuah suratnya, semakin menegaskan makna zeal itu dalam keseluruhan hidupnya.
Apostolic zeal yang ditunjukkan dalam hidup para pendiri bersumber dari keyakinan bahwa Allah mencintai setiap orang dan bahwa di mata Allah, semua umat manusia berharga serta merupakan ciptaan Allah yang mulia. Para pendiri memiliki pengalaman pribadi tentang belaskasih Allah. Karena itu, mereka merasa dipanggil untuk meyakinkan orang lain tentang kebaikan Allah kepada semua orang.
Pada masa Advent 1800 adalah masa di mana Pastor Coudrin dan Suster Henriette mempersiapkan segala sesuatu bagi masa depan Kongregasi. Hal itu menjadi nyata dan jelas ketika mereka mengambil langkah untuk mengikrarkan kaul kekal pada malam natal 1800. Pastor Hilarion Lucas dalam tulisanya, mengatakan:
“Dengan suara yang pelan, Pastor Coudrin di kapel kami, mengucapkan kata-kata berikut: “Saya, Saudara Marie-Joseph mengikrarkan kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan, mengikuti terang Roh Kudus, demi kebaikan karya, sebagai seorang Penggiat (Zealot) Hati Kudus Yesus dan Maria, dalam pelayanan bagi mereka, saya mau hidup dan mati”. Dan ia maju ke altar untuk memulai Misa di tengah malam. Pada waktu itu, jiwanya dipenuhi dengan sukacita yang mana dia selalu ingat penghiburan yang besar. Pada hari yang sama, ibu Henriette mengikrarkan tiga kaul religius, sebagai pemimpin umum. Pastor Coudrin kemudian memberkati jubah putih yang akan dipakai para Penggiat (The Zealots) sebagai tanda pengabdian mereka kepada Maria”[8].
Rumus pengikraran kaul tersebut cukup baru. Hati Yesus dan Maria disatukan dalam frasa yang sama. Pastor Coudrin juga mengkonsekrasikan dirinya untuk pelayanan sebagai seorang “Zealot”. Mengenai “Zealot”, Pastor Coudrin menulis:
“Sebuah nama yang mengingatkan setiap saat kepada mereka bahwa mereka harus mengorbankan diri mereka dalam semangat yang berkobar-kobar untuk Tuhan; bahwa mereka akan gagal dalam kaul-kaul yang esensial serta mereka ingin untuk hidup bagi mereka sendiri dan tidak bekerja bagi keselamatan saudara-saudara mereka; bahwa panggilan mereka, dalam satu kata “Zealot”, semangat yang terbakar”[9].
Menurut Pastor Coudrin, konsekrasi kepada Hati Kudus Yesus dan Maria menjadi dasar institusi kita. Pengakuan iman ini didasarkan pada 1 Yoh: 3:16: “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita”.
Zeal dalam Kontitusi SSCC
Konstitusi mengatakan bahwa pembaktian pada Hati Kudus Yesus dan Maria adalah dasar lembaga kita. Pembaktian itu diterapkan dalam tiga kata kunci yaitu merenungkan, menghayati, dan mewartakan kepada dunia cinta kasih Allah yang telah menjelma dalam Yesus. Pembaktian kita mengajak kita untuk menghayati dinamika cinta-kasihNya yang menyelamatkan dan memenuhi kita dengan semangat yang berkobar-kobar dan bergiat untuk misi kita(Konst. 2). Perutusan ini mendorong kita pada kegiatan penginjilan, sehingga kita masuk ke dalam dinamika cinta kasih Kristus kepada BapaNya dan kepada dunia, khusunya mereka yang miskin, yang menderita, yang tersingkir, dan yang belum mendengar Kabar Gembira (Konst. 6). Seperti Maria, kita juga dipanggil untuk bersama Yesus masuk ke dalam rencana Bapa demi penyelamatan dunia melalui cinta kasih (Konst. 13).
Tentang karisma SSCC itu, Pastor Pat Bradley, SSCC mengatakan bahwa zeal untuk memberitakan Kabar Baik tentang Kasih Allah, khususnya kepada orang miskin. Ketika kita menaruh pikiran dan hati Yesus sebagai seorang pelayan, kasih Allah mendesak kita. Kepedulian kita bagi mereka yang lemah dan tertindas mengalir dari kasih Allah itu. Semangat itu tampaknya sangat relevan untuk menanggapi terhadap dunia yang semakin tidak manusiawi. Semangat itu muncul dari kasih yang Yesus miliki bagi kita, membebaskan kita untuk menanggapi kebutuhan gereja dan dunia. Mengenai kebutuhan itu, para pendiri meminta kita kesiapsediaan, mobilitas, fleksibilitas, dan semangat misionaris yang tak terbatas. Semangat ini mengarahkan kita untuk melayani yang paling miskin di dunia[10].
Zeal, hasrat untuk Tuhan dan dunia ini, tidak mungkin terjadi jika kita tidak memiliki pengalaman sejati tentang keterlibatan pribadi Allah dalam sejarah hidup kita. Mustahil jika kita tidak bisa menceritakan kisah hidup kita sebagai pengalaman Tuhan yang memegang kita di tanganNya dan mencintai kita dengan penuh semangat. Zeal mengandaikan bahwa kita terus menghasrati kasih Allah dan merenungkannya dalam sejarah hidup kita sendiri dan dunia di mana kita hidup. Zeal selalu melibatkan pemahaman yang tajam bahwa kapanpun kita menunda-nunda melakukan kebaikan, itu menyakitkan Tuhan. Maka dari itu, zeal itu adalah sesuatu yang diterjemahkan menjadi kesiapsediaan untuk menanggapi kebutuhan yang mendesak. Zeal menuntut kita untuk melupakan kebutuhan kita sendiri dan senantiasa menuntun kita pada kesadaran akan kebutuhan orang lain[11]. Salam Hati Kudus Yesus dan Maria. Tuhan memberkati.
Roma, SSCC
Pertanyaan Refleksi:
- Bagaimana saya menghidupi zeal itu dalam tugas pelayananku?
[1] Julio Garcia, SSCC, “Picpus 2009 Program”, Zeal in SSCC Spirituality, 5.
[2] Julio Garcia, SSCC, “Picpus 2009 Program”, Zeal in SSCC Spirituality, 3
[3] CB. Kusmaryanto, SCJ, Nabi Cinta Kasih dan Pelayan Pendamaian, Rumah Dehonian, Palembang 2019, 161.
[4] J. Knox Chambelin, Paulus dan Diri, Ajaran Rasul Bagi Keutuhan Pribadi, Momentum, Surabaya 2008, 119.
[5] Julio Garcia, SSCC, “Picpus 2009 Program”, Zeal in SSCC Spirituality, 8.
[6] Julio Garcia, SSCC, “Picpus 2009 Program”, Zeal in SSCC Spirituality, 8-9.
[7] Bernard Couronne SSCC, A Man with a Heart Aflame, diterjemahkan dari Un Homme avec un Cœur Enflame, oleh Lorna Brockett, 20.
[8] Bernard Couronne SSCC, A Man with a Heart Aflame, diterjemahkan dari Un Homme avec un Cœur Enflame, oleh Lorna Brockett, 39.
[9] Bernard Couronne SSCC, A Man with a Heart Aflame, diterjemahkan dari Un Homme avec un Cœur Enflame, oleh Lorna Brockett, 39.
[10]Julio Garcia, SSCC, “Picpus 2009 Program”, Zeal in SSCC Spirituality, 10.
[11]Julio Garcia, SSCC, “Picpus 2009 Program”, Zeal in SSCC Spirituality, 11.