Bangsa Indonesia baru saja memasuki usia kemerdekaan yang ke delapan puluh tahun, di mana usia yang tidak lagi muda. Tema hari kemerdekaan yang diusung adalah “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” yang mecerminkan visi besar bangsa Indonesia untuk mencapai negara maju. Begitu banyak harapan dari seluruh masyarakat Indonesia agar bangsa ini bertumbuh menjadi lebih baik dan mempunyai pengaruh di kancah internasional. Ada banyak harapan yang terus digaungkan dari mereka yang sungguh optimis akan masa depan Indonesia emas. Tetapi tidak juga menutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar mereka yang juga menyerukan tentang rasa pesimisme akan kemajuan dan pertumbuhan bangsa Indonesia.
Platform media sosial, surat kabar, terus menampilkan informasi yang begitu banyak tentang fenomena aktual yang sungguh memperlihat akan ketidakwarasan mereka sebagai pemangku kekuasaan. Mereka yang menjadi garda terdepan justru sebagai aktor yang mematikan kemajuan bangsa tercinta. Posisi atau kedudukan yang dipercayakan sebagai tempat untuk mengasah hati dalam melayani dan berkorban dijadikan arena untuk praktek kebusukan dan sebagai ladang mencari kebahagiaan semu untuk diri sendiri, keluarga, dan golongan-golongan tertentu.
Slogan Indonesia merdeka bukan lagi menjadi pijakan refleksi akan masa lalu para pahlawan yang begitu gigih memperjuangkan dan mengorbankan hidup mereka demi merebut Ibu Pertiwi dari bangsa penjajah. Merdeka tetaplah kata tampa arti. Para penjajah baru terus bermunculan dengan sistem yang rapi. Sistem yang begitu kokoh sehingga masyarakat awam tidak bisa menyadari akan keberadaan hidup mereka yang belum merdeka karena terus dijajah oleh aktor yang bertopeng dengan menebarkan orasi manis yang kosong.
Gerakkan dari berbagai golongan ormas, aktifis masyarakat, dan mahasiswa/i yang mencoba membuka tabir kebusukkan terus digaungkan. Tetapi suara mereka yang menyerukan keadilan tidak membawa dampak karena para pencetus kebijakkan terobsesi oleh kenyamanan dan kesenangan di atas penderitaan para pejuang keadilan. Hal ini menjadi moment tragis.
Banalitas mulai merebak, tindakan kejahatan tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan yang memalukan, tetapi tindakan itu menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap biasa. Hati nurani tidak lagi terasah sehingga menjadi tumpul. Akibatnya segala perbuatan yang membawa konsekuensi buruk bagi publik tidak diperhitungkan. ***
Fr. Arsy Sina, SSCC