“A sacred space is not a place to hide out. It is a place where we recognize ourselves and our commitments” (Sherry Turkle)”

Ada suatu pengalaman menarik untuk direnungkan. Ada seorang Imam yang rutin menelepon untuk mendoakan umat-umatnya yang merayakan Ulang Tahun Kelahiran dan Ulang Tahun Pernikahan setiap hari. Hal yang lebih menarik lagi adalah bahwa cara ini tidak membatasinya untuk tetap mengadakan perjumpaan dengan umat-umatnya tersebut. Dalam refleksi saya, cara ini merupakan salah satu model pastoral sederhana yang baik dari seorang gembala untuk menyapa umatnya. Dalam era moderen yang masif diwarnai dengan Kultur Digital seperti sekarang ini, memang baik untuk tetap mengikuti arus perkembangan teknologi digital namun tidak sampai hanyut. Sederhananya, boleh ikut arus tetapi tetap berjuang agar tidak sampai terhanyut. Sulit? Iya, tapi inilah kenyataan yang menjadi tantangan kolektif zaman ini. Sherry Turkle, seorang Sosiolog Amerika dari Massachusetts Institute Of Technology pernah menyebutkan satu istilah “Sacred Space”. Dia menuliskan, “A sacred space is not a place to hide out. It is a place where we recognize ourselves and our commitments”. Dari gagasan menarik ini, saya berpikir bahwa dalam Kultur Digital seperti sekarang ini, penting untuk mempertahankan “sacred space” religiusitas. Sacred Space religiusitas yang dimaksudkan di sini adalah soal komitmen perutusan perihal perjumpaan wajah dengan wajah di dunia nyata. Mengenal identitas dan komitmen religiusitas dalam merupakan sacred space nya kita yang mestinya tidak boleh diganggu gugat atau bahkan diganti dengan perangkat-perangkat populer Kultur Digital. Mempertahankan sacred space religiusitas juga ditantang ketika sedang mendengarkan orang lain berbicara (pastoral of hearing). Fenomena “Phubbing” (perilaku seseorang asyik dengan gadget ketika sedang berada bersama dengan orang lain) merupakan salah satu perilaku anti sosial era kekinian yang mulai menerobos sacred space religiusitas kita menuju ke suatu fenomena “alone together”. Dalam refleksi saya, hal-hal ini merupakan salah satu Sacred space religiusitas saya yang harus tetap dipertahankan dalam Kultur Digital seperti sekarang ini. “Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam” (Lukas 5:4). Inspirasi Rohani ini merupakan salah satu pegangan untuk tetap melangkah dalam Kultur Digital ini. Berpastoral dalam Kultur Digital memang penting karena Kultur Digital juga merupakan Lahan Baru atau Kebun Anggur yang baru seperti yang disebutkan oleh St. Yohanes Paulus II. Berpastoral dalam Kultur Digital juga salah satu cara untuk tetap menjaga kesatuan Gereja di dunia virtual. Dengan kata lain, berpastoral dalam Kultur Digital merupakan salah satu bagian dari “Digital Ecclesiology”, dengan tetap mempertahankan sacred space saya sebagai seorang religius.

Romo Nelis, SSCC