Seorang anak gadis  remaja, berusia  lima belas tahun, sangat terpukul dengan kepergian ayahnya. Ayahnya yang ia banggakan dan idolakan ternyata merupakan orang yang tidak bertanggungjawab. Hatinya semakin hancur ketika ia melihat ibunya membanting tulang untuk menghidupinya dan adik-adiknya. Ia kehilangan semangat untuk menjalani kehidupannya. Ia malas untuk bersekolah karena merasa minder di hadapan teman-temannya. Namun, ibunya terus menyemangatinya : “Nak, jangan terus menangisi kepergian ayahmu. Kalau hatimu  terus menerus terfokus pada  kekecewaanmu, masa depanmu akan hancur. Kalau masa depanmu  berantakkan, hati mama akan tertusuk pedang yang tajam untuk kedua kalinya. Gapailah masa depanmu karena itu yang menghidupkan mama”. Kata-kata ibunya itu ternyata mengobarkan semangat hidupnya. Ia dapat menyelesaikan pendidikannya dan bekerja di sebuah perusahaan yang terpandang. Ia dengan  rasa bangga memberikan gaji pertamanya kepada ibunya. Namun, ibunya itu  menolaknya dengan senyuman  yang menghias wajahnya : “Itu untukmu anakku”.  Anak itu menangis terharu karena kebaikan ibunya tersebut. Kebaikan ibunya itu terus terngiang-ngiang selama hidupnya sehingga memacunya untuk terus maju.

Kita tanpa sadar telah membangun mentalitas korban dalam diri kita. Mentalitas korban itu akan menguasai kita ketika kita terus menerus merasa dilecehkan, dikhianati, ditinggalkan, disalahkan, dan diperlakukan dengan tidak adil. Kita hendaknya tidak membiarkan diri terus menerus  tinggal dalam rasa sakit di masa silam. Terus menerus  tinggal dalam perasaan sakit itu akan  menghalangi masa depan yang luar biasa indahnya yang telah Tuhan sediakan bagi kita.

Kita tidak akan  mungkin menjadi pemenang dalam kehidupan kita selama kita mempunyai mentalitas korban dan perasaan mengasihi diri sendiri. Mentalitas korban dan  perasaan mengasihi diri sendiri akan  membuat kita  terus-menerus menyalahkan situasi.  Kita akan terus-menerus mempertanyakan keadaan kita : “Mengapa kehidupanku tidak kunjung membaik”. Terus menerus menyalahkan keadaan akan  menghambat perubahan dalam hidup kita

Mentalitas korban ini dapat kita tanggalkan dengan mempercayai bahwa Tuhan ingin melakukan sesuatu yang baru dalam kehidupan kita. Untuk dapat menerimanya,  kita harus tetap menjaga iman kita terhadap kemahakuasaan-Nya (El Shaddai).  Iman yang kita pegang erat-erat akan menggerakkan tangan Tuhan untuk mengubah penderitaan, rasa sakit, dan kepahitan menjadi sukacita, damai sejahtera, dan kebahagiaan yang berlimpah.  Bagian kita adalah tetap mengharapkan hal-hal yang baik dalam hidup kita dan menjaga arah pikiran kita kepadaNya.

Perubahan dalam hidup kita akan terjadi jika kita mau mengubah pikiran kita. Perubahan dalam hidup kita akan terwujud jika kita berhenti berpikir tentang kekalahan dam kegagalan. Kita hendaknya tidak membiarkan orang lain meracuni kita dengan perkataannya  bahwa Tuhan telah menggariskan keterpurukan  dalam  kehidupan kita. Kita hendaknya percaya bawa Ia senantiasa ingin mengubah kehidupan kita. Ia sedang mempersiapkan banyak anugerah kebaikan  dalam hidup kita. Yang perlu kita lakukan adalah menyiapkan ruangan yang luas untuk menampungnya : “Lapangkanlah tempat kemahmu,  dan bentangkanlah tenda tempat kediamanmu, janganlah menghematnya; panjangkanlah tali-tali kemahmu dan pancangkanlah kokoh-kokoh patok-patokmu!” (Yesaya 54 : 2). Ketika kita membentangkan iman kita kepadaNya dan memperluas ruangan bagi berkat-Nya, Ia tidak akan mengecewakan kita sehingga kita dapat memberkati sesama kita. Karena itu, saat ini merupakan saat bagi kita untuk bangkit dari ketepurukan dan mengakhiri kekalahan.

Kekuatan mental kita terbentuk melalui kerasnya tekanan hidup. Masa-masa sulit dalam kehidupan kita akan menciptakan pikiran mentalitas pemenang. Karena itu, mari kita tanggalkan mentalitas korban dan perasaan mengasihani diri sendiri sehingga kita dapat melepaskan diri dari kubangan keterpurukan.

 

Tuhan Memberkati

Romo Felix Supranto, SS.CC