All to God, all for God
To Him our lives we consecrate
To love, adore, and repair
Near the cross our stand we take
All to God, all for God!
Hold our standard on high
True children of the Sacred Hearts
In them we’ll live and die.
A hymn of praise we sing
Trough love he reigns our King
All to God, all for God [Karya: Henriette Aymer de la Chevalerie]
Selalu ada kebahagian, kesedihan, perjuangan, serta ekpresi lainya dalam kehidupan ini. Hal tersebut merupakan refleksi dari hubungan kita dengan orang lain serta lingkungan. Refleksi tersebut menimbulkan sensasi yang mempengaruhi tentang bagaimana kita bersikap serta setelah mengalami hal tersebut. Tidak jarang refleksi perasaan menimbulkan suatu tindakan yang diluar kendali yang merugikan diri sendiri ataupun bahkan orang lain. Dikatakan tidak terkendali karena seseoarang melaksanakan suatu tindakan diluar kewajaran manusia pada umumnya.
Kehadiran musik berupa alunan melodi ditambah dengan syair indah apabila dikaitkan dengan refleksi perasaan memiliki keterkaitan, dikarenakan dengan musik refleksi perasaan dapat diupayakan untuk dikendalikan. Hal tersebut karena alunan melodi menciptakan suatu keadaan yang nyaman ditambahan dengan syair yang menggugah, maka seseorang seolah-olah dibawa kedalam suatu dunia tertentu. Disinilah seseorang mampu berkomunikasi dengan dirinya, mampu untuk merefleksikan perasaan dengan terkendali.
Henriette Aymer de la Chevalerie sebagai seorang musikus dalam lagunya yang bertajuk All to God, secara umum mengungkapkan penyerahan dirinya yang total kepada Allah. Hal Ini diungkapkan dalam syair All to God, All for God. Pada dasarnya, sebagai orang khatolik Good Mother mendedikasikan diri dan hidupnya untuk Tuhan supaya dikuduskan (To Him our lives we consecrate). Dikuduskan dalam nama Tuhan. Pengalaman akan Tuhan di sini dialami oleh Good Mother melalui laku spiritual yang tepat, sehingga hatinya dan hatin-Nya dilebur. Good Mother dengan tepat menemukan jalan terbaik untuk menemukan Tuhan bukan dari luar dirinya melainkan dari dalam dirinya. Hal ini dibuktikan lewat pengalaman kedalam dirinya saat di penjara. Di situlah, ada suatu bentuk kesadaran murni yang berada sebelum semua bentuk pengetahuan dan pengalaman manusia. To love, adore, and repair mau mengungkapkan kebaktiannya kepada Tuhan lewat cinta, sembah sujud dan reparasi. Plato dalam refleksinya tentang cinta diungkapkannya secara halus. Boleh dikatakan cinta menyatukan energi. Bila orang yang sedang jatuh cinta otomatis ada keinginan untuk menyatukan jiwa itu. Cinta sejati memiliki karakter yang transendental yakni kesatuan yang dirindukan bukan kesatuan fisik melainkan menyeberangi realitas fisik ke keabadian. Itulah yang diimani oleh Good Mother dalam hidupnya. Jiwanya seakan-akan kosong, hampa dan ingin ada sesuatu yang mengisinya. Dalam kurun waktu yang cukup lama, proses untuk mengisi kekosongan itu terus dicarinya sehingga didapatinya dalam hening sehingga boleh dikatakan jiwanya haus akan Allah. Hanya kepada Allah-lah hidupnya diserahkan. Tindakannya yakni dengan beradorasi melakukan sembah sujud kepada Tuhan yang hadir dalam Sakramen Maha Kudus. Sembah sujudnya kepada Tuhan yang hadir dalam Sakramen Maha Kudus dilakukannya dengan ujud melakukan silih kepada dosa-dosa dunia. Hal ini berangkat dari pengalamannya selama masa revolusi Prancis dimana ketidakmanusiawian dilakukan. Near the cross our stand we take menurut saya, kata-kata ini yang mungkin dinobatkan untuk semua saudara-saudari Hati Kudus Yesus dan Maria sebagai Son of the cross atau anak-anak salib.
Pada bagian kedua dari lagu ini dibuka degan All to God, All for God. Saya rasa Good Mother benar-benar mengilhami Yesus yang hadir dalam setiap pengalaman hidupnya. Harapan akan kekuatan untuk menghadapi situasi zaman yang begitu aneh baginya sehingga kata-kata Hold our standard on high muncul dari dalam benaknya. Harapan yang mengungkapkan ketidakberdayaan dan kerendahatiannya kepada Allah sembari meminta sesuatu menopangnya bila akan “jatuh”. Disinilah spiritualitas yang ditawarkan untuk selalu siap sedia atau kesiapsediaan kita akan pelayanan. Maka, disitulah kata-kata true children of the Sacred Hearts muncul sebagai salah suatu ciri khas. Dalam kongregasi inilah Good Mother ingin supaya, kita tetap hidup dan mati sebagai anak-anak salib dan anak-anak Hati Kudus Yesus dan Maria. Hal ini menandakan pemberian diri dari Good Mother kepada Allah dan juga sesame. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi juga mengatakan; “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (bdk Flp 1:21). Memberi diri tidak hanya untuk berbakti kepada Tuhan namun juga kepada sesama yang membutuhkan terutama mereka yang menderita. Bisa dikatakan bahwa memberi itu sebuah transendensi. Suatu penyeberangan diri dari kepentingan sendiri kepada orang lain. Memberi memungkinkan orang lain mendapatkannya sebagai hadiah yang menggembirakan. Seperti keberadaanku saat ini adalah sebuah hadiah bagiku, dengan demikian jika aku memberi, aku menghadiahkan keberadaanku kembali kepada siapapun yang membentuk diriku. Seolah saat aku memberi di situ aku “mengembalikan” apa saja yang selama ini merupakan hadiah bagiku. Good Mother hadir di dunia ini karena Allah sehinnga ia memberi diri untuk pelayanan dengan mengajar anak-anak yang terlantar dan membuat mereka senyaman mungkin berada di dekatnya karena Alah hadir dalam setiap pribadi. Ia juga memberi diri, mengahabiskan waktu berjam-jam untuk beradorasi kepada di depan Sakramen Maha Kudus. Ini adalah hadia yang diberikan Good Mother kepada Allah karena Eksistensinya didunia ini. pelayanannya selalu dilakukan dalam ranah pujian kepada Allah yakni nyanyian syukur layaknya seorang pemazmur. Menggunakan kasih dalam setiap pengalamannya mengungkapkan kasih dari Allah, kasih yang rendah hati, lemah lembut dan panjang sabar dimana ketika kerajaan Allah meraja disitulah terdapat kasih itu terungkap. Penutup tekhir dari lagu ini sama seperti di awal All to God, All for God mau mengungkapkan segala-galanya untuk Tuhan tercermin dari segala-galanya untuk sesama (“The best way to be all for God is to be all for your neighbour”).
This personal reflection is in commemoration of our Good Mother Henriette Aymer de la Chevalerie.
Frater Ary, SSC