“We can escape God by religion and morality as much as we escape God by irreligion and immorality”.

Suatu refleksi yang menarik dari Perumpamaan Tentang Anak Yang Hilang. Bagi sebagian besar pembaca perikop ini pasti mengidentifikasi dengan cepat dan jelas bahwa yang ada dalam diri Si anak bungsu merupakan geliat dosa yang nyata. Ia meminta harta kekayaan milik Bapanya yang menjadi miliknya sewaktu Bapanya Masih hidup. Hal ini berarti ia telah melanggar suatu aturan yang mana secara tidak langsung ia menginginkan kematian Bapanya. Ia pergi menghambur-hamburkan harta itu dan akhirnya jatuh dalam kemiskinan dan penderitaan yang dahsyat. Bagi pembaca perikop ini, identifikasinya tampak jelas bahwa inilah dosa. Permasalahan baru muncul saat Si bungsu memutuskan kembali ke rumah Bapanya. Si anak sulung yang katanya tidak pernah melanggar perintah Bapanya dengan jelas menolak adiknya itu dengan berargumen terhadap Bapanya. Ia langsung menempatkan diri di luar ikatan Keluarga tersebut, dan memutuskan untuk tidak masuk ikut pesta sukacita ayahnya. Protes yang berikan kepada Bapanya lebih pada soal “penerimaan Bapanya terhadap si bungsu yang menurutnya berlebihan karena menyembelih anak lembuh tambun”. Sedangkan untuk dirinya sendiri yang selama ini selalu setia dan tidak melanggar perintah Bapanya, tidak pernah menerima apapun dari Bapanya bahkan seekor anak kambing pun tidak. Bagi pembaca jenius, hal-hal ini termasuk simptom dosa. Psikologi seorang anak sulung menunjukkan bahwa seorang anak sulung akan memikirkan lebih perihal perasaan, beban, serta kebahagiaan orang tuanya. Jika ayahnya mengadakan suatu pesta karena ada suatu sukacita yang besar, maka sudah menjadi tanggung jawab anak sulung untuk ikut mengusahakan hal itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh si sulung ini justru terbalik. Refleksi yang menarik terhadap dua figur anak ini. Baik Sindrom Anak Bungsu maupun Sindrom Anak Sulung sama-sama merupakan dosa. Pribadi pendosa dan bermasalah bukan hanya dia yang telah secara terang-terangan berbuat dosa dan bersalah serta diketahui oleh banyak orang. Dia mungkin telah melarikan diri dari Tuhannya dengan dosa dan kesalahannya (Sindrom Anak Bungsu). Tapi ada orang yang dengan rela mau menerimanya kembali, yakni Bapanya. Pribadi pendosa dan bermasalah juga termasuk dia yang selama ini merasa baik-baik saja, tidak pernah berbuat salah, tidak pernah membangkang, tidak pernah melanggar peraturan, yang katanya hebat dalam hal berdoa, yang merasa telah “beruban” dalam kebaikan dan pengalaman hidup namun masih mengingat-ingat kesalahan orang lain. Ini pun sedang tersesat.

Dia yang masuk dalam Sindrom Anak Bungsu melarikan diri dari Tuhannya dengan cara melanggar peraturan, pernah berdosa secara terang-terangan. Sindrom Anak Bungsu juga mencoba mengontrol segala sesuatu yang menjadi milik Tuhannya dengan cara pergi dan menghabiskannya secara tidak bijak. Dia yang masuk dalam Sindrom Anak Sulung mencoba mengontrol harta milik Tuhannya dengan cara tinggal dan taat, serta setia pada segala aturan. Dia juga telah melarikan diri dari Tuhannya dengan cara memprotes kepada Tuhannya saat hal – hal yang menurutnya baik selama ini tidak mendapatkan upahnya. Dia juga menolak menerima kembali saudaranya yang dulu pernah hilang karena dosa namun kini didapatkan kembali. Dua Sindrom ini sedang tersesat dan butuh jalan pulang.

Ternyata kesulitan terbesar dalam hal pengampunan dan pemulihan adalah bukan soal bagaimana saya datang meminta maaf pada saudara saya atau pergi ke Ruang Pengakuan untuk Sakramen Tobat, melainkan pada Pasca-Pengampunan; soal Penerimaan dari Saudara kita terhadap kita yang dia tahu pernah bersalah entah kepadanya atau kepada orang lain*.

Kios hancur karena bon, Persaudaraan hancur karena Uang, Jabatan, dan Wanita

 

Romo Nelis, SS.CC