MENDENGAR UNTUK BERBUAH

Oleh:  Sr. Ani, SS.CC

Manusia mempunyai telinga untuk mendengar, akal budi untuk mencerna apa yang didengar dan kehendak bebas untuk meresponsnya. Pendengaran menjembatani apa yang ada di luar dan yang terdalam dalam diri kita. Sejak bulan Maret tahun ini, media massa terus memperdengarkan bagaimana negara kita dihadapkan dengan pandemi Covid-19, meski negara-negara lain sudah terlebih dahulu mengalaminya. Dunia terguncang dalam segala aspek kehidupan. Dampak-dampak negatif, seperti psikologis, budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan agama membuat banyak orang gelisah, cemas, takut dan “vacuum”. Penderitaan dan tangisan menghadapi tantangan dan kesulitan karena Covid-19 ini masih berlanjut. Bahkan, kesedihan yang mendalam dengan adanya anggota keluarga yang sakit atau meninggal akibat Covid-19. Sampai kapankah semua ini akan berakhir? Apa gerangan yang ingin Tuhan sampaikan dengan mengizinkan semua ini dialami umat manusia? Refleksi berikut mengundang kita untuk mendengar situasi dari dalam dan luar diri kita di masa pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi saat ini.

Tenanglah! Aku ini, jangan takut.” (Mat. 14:27). Merupakan peneguhan yang kita butuhkan dan mesti kita rekam di dalam jiwa dan ingatan kita. Ketakutan, kekawatiran, dan kecemasan yang muncul dari ketidakpastian akan hari esok, kesulitan yang terjadi saat ini atau keadaan ketidakberdayaan diri, jangan kita biarkan meracuni dan menggelapkan budi kita. Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya dicobai melampaui kekuatannya. Ia akan memberikan jalan keluar kepada kita, sehingga kita dapat menanggungnya. Maka sikap tenang dan membuka diri untuk mendengarkan dapat membantu kita menghadapi kesulitan, kecemasan dan ketidakpastian hidup ini dengan penuh optimisme, karena kita tidak sendirian, ada Tuhan yang selalu menopang dan membantu kita. Inilah kekuatan interior yang membantu kita untuk bangkit dan mencoba kembali menjalani hidup ini dari segala tantangan dan kesulitannya. Menyesuaikan diri dengan tuntutan new normal life: pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak, bukanlah sebuah beban, namun sebuah tindakan demi kebaikan bersama. Dalam motivasi untuk kebaikan bersama, kita mengasah kreativitas kita untuk tetap produktif, terlibat dan aktif sebagaimana kita sebelum munculnya pandemi Covid-19.

Di samping itu, kita juga dipanggil untuk memiliki sikap peduli dan perhatian kepada sesama. “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” (Gal 6:2). Atas dasar nasihat Injil ini, kita diajak tidak hanya menjadi pendengar, tapi menjadi pelaku, yaitu pelaku kasih. Sesederhana apa pun tindakan kasih kita akan sangat berharga terutama bagi saudara-saudari kita  yang sedang “tercekik” oleh karena dampak Covid-19 ini. Ada banyak saudara-saudari kita terdampak Covid-19 meneriakkan derita, tangisan dan kesulitan, serta kesedihan yang mendalam. Apakah saya pernah memikirkan apa kebutuhan mereka? Apa yang bisa saya lakukan untuk menolong mereka? Ungkapan “kasihan” saat mendengar saudari-saudara yang menderita/kesulitan tidak membantu mereka. Tetapi, harus melakukan sesuatu untuk menghadirkan “keadilan” bagi mereka. Inilah aksi solidaritas kita sebagai pelaku kasih. Bersolider berarti membagikan apa yang kumiliki kepada mereka yang berkekurangan, bahkan tidak memiliki kebutuhan yang paling mendasar dalam hidup. Berdosalah kita membuang-buang berkat atau menimbunnya untuk diri sendiri, sementara ada banyak saudara-saudari kita menderita kelaparan dan kesusahan. Solidaritas sebagai gerakan bersama akan memperkuat aksi kasih kita dalam menolong mereka yang menantikan keadilan dalam hidup ini. “Apa yang bisa anda lakukan untuk menolong mereka? Apakah yang mereka butuhkan?” adalah undangan untuk saya dan anda sebagai anggota Gereja untuk membagikan berkat yang kita miliki untuk menolong dan meringankan penderitaan saudara-saudari kita yang sedang menderita dan berkesusahan. Berkat senantiasa mengalir dalam hidup kita dan kita masih diberi kesempatan untuk menjadikan hidup kita berkat bagi orang lain. Biarkanlah kasih itu nyata dalam tindakan kita.

Mendengar adalah gerakan Roh Kudus. Roh Kudus bersemayam di dalam jiwa  dan Ia memberi kuasa-Nya kepada siapa saja yang membuka diri bagi karya keselamatan-Nya. Pengalaman-pengalaman kita dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 dan menyesuaikan diri dengan masa new normal ini membutuhkan pemaknaan. Tuhan mengijinkan pengalaman-pengalaman ini terjadi dengan suatu maksud, Ia sedang mengerjakan sesuatu untuk “menyelamatkan jiwa kita.” Di rumah aja secara spiritual bisa bermakna “di rumah jiwa” kita. Selama ini mungkin kita kurang memperhatikan keadaan “rumah jiwa” kita. Keadaan eksterior lebih menyita perhatian, waktu dan tenaga kita. Saat kita hanya di rumah, kita berhadapan dengan diri kita sendiri, momen untuk membenahi diri dan memperhatikan apa yang selama ini kurang diperhatikan. Inilah kesempatan untuk Balance Life, misalnya memenuhi kebutuhan spiritual, membangun relasi dalam keluarga/komunitas, memberi waktu melakukan hal-hal yang belum sempat kita lakukan serta mengasah kreativitas melakukan sesuatu yang bermanfaat. Berpikir dan bertindak positif dengan situasi yang ada, membuat kita bisa nyaman dengan kesunyian, waktu luang, menikmati momen bersama anggota keluarga/komunitas serta menemukan potensi diri kita sebagai buah dari kreativitas yang sedang kita kembangkan. Di situlah saat Roh Kudus turut bekerja dalam “rumah jiwa” yang hampa, kosong dan lapar. Kebahagiaan lahir dari “rumah jiwa” yang terisi dan terawat. Semua yang kita miliki berkaitan satu sama lain, sehingga semuanya perlu diperhatikan, dirawat dan dijaga. Kebahagiaan sejati itu terletak bukan karena pencapaian atau kesuksesan kita, tapi buah dari usaha kita untuk menjadi pribadi yang sejati dan otentik, sekaligus tetap dalam kesatuan relasional dengan sesama dan alam ciptaan ini.

Mengakhiri refleksi ini, saya menggaris bawahi poin-poin yang bisa menjadi peneguhan bagi kita dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 ini, yaitu: tetap memiliki pengharapan, walaupun dalam situasi yang syarat akan ketidakpastian, menumbuhkan sikap solider dengan mereka yang lebih menderita karena Covid-19, dan selalu yakin bahwa bersama Allah kita dapat melewati derita ini dengan terus memperhatikan, merawat dan menjaga kehidupan rohani, kehidupan keluarga/komunitas dan dengan kreatif mengembangkan potensi diri kita. Akhir kata, marilah kita Mendengar Untuk Berbuah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *