Pastor Rolf Reichenbach, SS.CC Memimpin Perayaan Ekaristi Bagi Para Pengungsi Vietnam

 

Pengantar

Pergolakan politik di Vitenam pada tahun 1970-an mengakibatkan pecahnya perang saudara di Vietnam menjadi “ketakutan tersendiri” bagi masyarakat Vietnam. Pada masa tersebut, Vietnam terpecah menjadi dua bagian, yakni: Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Wilayah Vietnam Utara umumnya dikuasai oleh kelompok komunis, sedangkan Vietnam Selatan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat, terutama Perancis yang menganut paham Liberalisme (Stephani Dania, 2013, 39). Hal ini menyebabkan banyak warga Vietnam Selatan yang memilih meninggalkan Vietnam dan mencari suaka pertolongan di negara-negara Asean, salah satunya Indonesia.

Gelombang pengungsi pertama tiba di Tanjungpinang, Kepulauan Riau sekitar Bulan April 1975, yang disusul dengan tibanya gelombang pengungsi kedua di Pulau Natuna pada Bulan Mei 1975. Namun, dibalik kisah kedatangan pengungsi tersebut di Indonesia, terdapat salah satu kisah nyata yang disharingkan oleh Alm. P. Fransiskus Adbaw Oedjan, Pr (Salah satu Imam asli Projo Keuskupan Pangkalpinang dan berasal dari Tanjungpinang serta mengalami pendidikan Imamat di Kongregasi SS.CC) namun tidak pernah dituliskan tentang kisah heroik P. Rolf Reichenbach, SS.CC dalam menerima gelombang pengungsi pertama tersebut.

Pastor Rolf Reichenbach, SS.CC Bersama Para Pengungsi Vietnam

 

Aksi Heroik P. Rolf Reichenbach, SS.CC (Berdasarkan Sharing Alm. P. Adbaw, Pr)

Suatu siang pada Bulan April 1975, P. Rolf, SS.CC datang ke rumah Alm. P. Adbaw, Pr yang jaraknya tidak jauh dari Pastoran Paroki HSMTB Tanjungpinang. P. Rolf, SS.CC mengajak P. Adbaw yang saat itu masih berusia 11 tahun untuk menemaninya menerima pengungsi Vietnam yang akan tiba. Setibanya mereka berdua di Pastoran, keduanya mengambil waktu untuk beristirahat sejenak sambil menunggu pemberitahuan kedatangan pengungsi Vietnam tersebut.

Ketika keduanya sedang beristirahat, tiba-tiba terdengarlah pemberitahuan tentang datangnya pengungsi Vietnam disertai dengan bunyi sirene besar dari para marinir dan bunyi tembakan serta teriakan. P. Rolf dan P. Adbaw yang panik akan hal tersebut sontak langsung berlari dari pastoran ke pelabuhan yang jaraknya hanya 500 M. Setibanya mereka berdua di pelabuhan (mungkin saat itu sudah bernama Pelabuhan Sri Bintan Pura, layaknya sekarang), posisi pengsungsi sudah duduk dengan interogasi ketat dari pihak marinir.

Pada saat pemeriksaan tersebut, salah seorang marinir bertanya dengan keras: “Siapa yang bertanggungjawab atas kamu semua” Tanya seorang mariner tersebut kepada pengungsi. Karena nihil akan jawaban, mariner tersebut kembali bertanya: “Siapa yang bertanggungjawab atas kamu semua”. Karena masih nihil akan jawaban, marinir  tersebut bertanya dengan nada ancaman: “Siapa yang bertanggungjawab atas kamu semua, kalau tidak ada yang menjawab, saya tembak kamu semua di sini”.

Di tengah situasi genting tersebut, P. Rolf berteriak dengan keras. “Pak, saya yang bertanggungjawab atas mereka semua! Mereka semua dibawah perlindungan saya”. Marinir tersebut seketika terkejut atas jawaban tersebut dan bertanya: “Siapa Anda??”. P. Rolf menyambung “Saya P. Rolf, SS.CC dan saya yang bertanggungjawab atas mereka semua. Mohon agar mereka semua dipindahkan ke tempat yang lebih layak”.

Atas negosiasi yang dilakukan oleh P. Rolf tersebut, +-1200 pengungsi tersebut dibawa ke Batu 6 (lokasinya sekitaran 6 km dari pelabuhan utama Tanjungpinang). Sembari para pengungsi tersebut dibawa ke lokasi yang lebih layak, P. Rolf dan P. Adbaw (yang saat itu juga merupakan seorang misdinar) mengambil seperangkat alat misa untuk dibawa ke lokasi pengungsian. Setibanya mereka semua dilokasi pengungsian tersebut, diadakan perayaan Ekaristi Berbahasa Inggris dicampur dengan Bahasa Latin.

Awalnya P. Rolf mengira bahwa jumlah Umat Katolik yang ikut dalam pengungsian tersebut hanya sedikit. Namun, ketika hendak mempersiapkan seluruh Perayaan Ekaristi, jumlah umat Katolik sangat banyak. P. Adbaw yang saat itu sebagai putera altar membantu P. Rolf dalam menyiapkan segalanya. Keterbatasan Bahasa menjadi sebuah tantangan karena hanya sedikit umat yang bisa terlibat secara aktif dalam Perayaan Ekaristi.

Setelah peristiwa tersebut, P. Rolf, SS.CC mencari bala bantuan kepada orang tua murid yang bersekolah di SD Katolik Tanjungpinang untuk menyumbangkan barang serta makanan yang dibutuhkan oleh para pengungsi. Hal inilah akhirnya ditanggapi oleh pemerintah yang akhirnya memberikan laporan kepada UNHCR untuk memberikan sebuah penanganan khusus bagi para pengungsi sehingga akhirnya mereka semua dipindahkan ke Pulau Galang dengan tempat yang lebih layak.

 Pastor Rolf SS.CC bersama para pengungsi Vietnam

Kemanusiaan Di Atas Segala-galanya

Aksi heroik P. Rolf SSCC mengajarkan saya dan juga kita semua tentang arti kemanusiaan yang lebih penting dari segala-galanya. Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ menyatakan demikian: “Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan Bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar”. P. Rolf menjadi bukti bahwa memuliakan manusia berarti memuliakan Allah sang pencipta pula. Manusia pada dasarnya memiliki harga diri yang perlu diapresiasi dan bukan diperlakukan seenaknya saja.

Dalam rangka 100 tahun Kongregasi SS.CC di Indonesia, saya diajak pula untuk semakin memperhatikan sesama, khususnya mereka yang lemah dan kurang diperhatikan. Terkadang, hal tersebut justru menjadi sesuatu yang terlupakan dalam hidup saya karena lebih berfokus pada kenyamanan yang saya miliki dan rasakan saat ini. Semoga dengan merenungkan aksi heroik P. Rolf ini, saya dan mungkin kita semua semakin diteguhkan untuk mampu memiliki sikap yang total kepada mereka yang miskin dan membutuhkan. Terimakasih P. Rolf atas teladanmu bagi kami, semoga kami dapat melaksanakannya dengan cara-cara yang lain dalam hidup kami sehari-hari.

Fr. Christian Fritz Wibisono, SS.CC

Foto-Foto Berikut Ini Tentang Kebersamaan Pastor Rolf Reichenbach, SS.CC Bersama Para Pengungsi Vietnam