MENJADI PRIBADI YANG MEMILIKI “HATI YANG BERTELINGA”
Oleh: Pater Bonie Payong, SS.CC
Provinsial SSCC Indonesia
Gereja adalah bagian yang integral dan tak terpisahkan dari keluarga, komunitas dan masyarakat. Artinya, Gereja tidak lepas dari realitas kehidupan dan pergulatan hidup sehari-hari, baik secara pribadi maupun komunal. Maka bentuk pewartaan iman yang paling efektif dan khas, khususnya untuk konteks Asia adalah narasi. Hal ini ditegaskan dan diyakini oleh Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen Ecclesia in Asia, pada tahun 1999. Didasari oleh keyakinan ini dan belajar dari Kongres Misi Asia I di Chiang Mai, Thailand 2006, maka Gereja Indonesia dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010 menggunakan metode narasi. “Saling menuturkan kisah” dan “saling mendengarkan kisah” menjadi warna khas dari seluruh rangkaian dinamika pertemuan tersebut. Untuk menuturkan kisah sejati dituntut diskresi yang lahir dari kedalaman ruang batin, setelah merekam penggalan realitas kehidupan. Sementara untuk mendengarkan kisah sejati, mutlak diperlukan pribadi yang berhati dan bertelinga. Karena itu pantaslah dalam hidup dan kehidupan, entah pribadi, keluarga, komunitas, gereja, maupun masyarakat, dibutuhkan pribadi-pribadi yang mau mendengarkan; mendengarkan dengan hati dan telinga. Pribadi yang mempunyai “hati bertelinga”.
Mengutip Stephen Covey dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People, ada 5 tingkatan kemampuan mendengarkan.
Level 1. Ignoring (Mengabaikan). Pikiran pendengar tidak fokus pada pembicara. Pendengar tidak memanfaatkan telinga dan matanya untuk memahami maksud pembicara. Pendengar mengabaikan pesan pembicara.
Level 2. Pretend Listening (Berpura-pura mendengarkan). Tentu saja lebih tinggi gradasinya dari pada yang pertama. Namun, pendengar hanya memberi kesan mendengar ucapan lawan bicara. Tetapi, sebetulnya tidak menangkap maksud pembicara, walaupun ada reaksi memberikan gerak tubuh atau kata singkat tertentu.
Level 3. Selective Listening (Mendengarkan secara selektif). Pendengar tidak memberikan perhatiannya pada semua bagian pembicaraan secara utuh. Ia hanya mendengarkan bagian tertentu yang dianggapnya penting. Karena tidak utuh, maka bisa menimbulkan kesalahpahaman. Pendengar cenderung memotong atau menyela lawan bicara sebelum pembicara menuntaskan pembicaraan. Walaupun demikian, pada tingkat ini pendengar sudah menggunakan keterampilan dasar mendengarkan.
Level 4. Attentive Listening (Sungguh-sungguh mendengarkan). Pada level ke-4 ini, pendengar benar-benar memberikan waktu dan perhatiannya untuk mendengarkan pembicara. Seluruh inderanya dimanfaatkan dengan baik. Indera penglihatan untuk mengobservasi, pikirannya dijaga untuk memahami, merefleksikan, mengulang, dan alat-alat lain untuk membuat mereka tetap bisa fokus untuk mendengar. Namun pendengar masih menggunakan kerangka acuan dan cara pandangnya untuk menangkap pembicaraan pembicara. Tingkat ke-4 ini sudah baik, walaupun belum sempurna karena tidak pada level tertinggi kemampuan mendengarkan seorang manusia.
Level 5. Empathetic Listening (Mendengarkan dengan empati). Stephen Covey menempatkan tingkat mendengarkan dengan empati merupakan tingkatan mendengarkan paling tinggi. Tidak banyak orang mencapai tingkat ini, jika tidak dilatih terus menerus secara teratur dan periodik. Pendengar tingkat ini dituntut energi yang besar, baik fisik, mental dan emosional. Mereka tidak hanya mendengar kata-kata yang disampaikan pembicara, namun berusaha memahami maksud dibaliknya kata-kata itu. Mampu menangkap maksud pembicaraan, baik yang tersirat maupun tersurat. Fokus pendengaran, penglihatan, pikiran dan hatinya diarahkan dengan penuh perhatian kepada pembicara. Pendengar berusaha keluar dari kerangka acuan dan sudut pandangnya dan menempatkan dirinya kepada posisi pembicara. Karena itu tidak semua orang masuk pada tingkat ini, tapi tidak berarti tidak bisa. Karena itu dituntut sebuah proses latihan yang terus menerus, serius dan teratur.
Mendengarkan pada level terakhir inilah, penulis mengajak untuk mendengarkan diri sendiri, mendengarkan sesama, mendengarkan universe/semesta dan pada akhirnya mendengarkan suara Tuhan. Karena itu, jadilah pribadi-pribadi anggota Gereja yang mendengarkan dengan “hati bertelinga”. Jangan pernah menuntut dan mengharapkan orang lain mendengarkanmu, sebelum anda melatih diri untuk mendengarkan orang lain dengan empati.