Kepada para murid dan pengikut-Nya Yesus menegaskan kembali perlunya beriman kepada Alah. Yesus mengingatkan bahwa Allah Bapa, akan selalu memberikan kepada putra-putri-Nya apa saja yang baik, yang mereka inginkan dan harapkan. Bapa akan mendengarkan doa permohonan putra-putri-Nya. Bapa yang sama akan membuk apintu kepada siapa saja yang tekun dan setia datang kepada-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mengalami beraneka macam kesulitan dan persoalan. Kegagalan, kekecewaan, frustasi, sakit hati, datang silih berganti. Namun kita sering lari bukan hanya dari kesulitan tetapi juga lari dari Tuhan. Kita sering kurang percaya kepada Tuhan. Tak jarang, kita putus asa dan tidak sabar untuk menanti jawaban dari Tuhan. Yesus mengajak kita untuk tekun dan setia mengetuk hati Bapa. Bapa yang penuh kasih dan kerahiman, akan membuka hati-Nya bagi kita yang percaya dan berani berserah kepada-Nya.
“Meminta” hendaknya diteruskan dengan kesadaran akan usaha yaitu “mencari”. Usaha itu tentu membutuhkan waktu, tidak sekali jadi. Hal ini digambarkan dengan kata “ketoklah”. Orang yang mengetok pintu, tentu – demi kesopanan – dia menunggu dulu sampai yang punya rumah membukakan pintu. Orang menunggu juga butuh kesabaran dan kepekaan. Mungkin orang yang didalam mengatakan “sebentar” atau “silahkan masuk saja.” Tetapi bila kita tidak memperhatikan dan tidak mendengarkan dengan sungguh-sungguh, jawaban dari dalam, kita tidak akan mendengar. Ketika kata kerja itu diucapkan (mintalah, carilah, ketoklah) akan selalu mengandung dua resiko (paling tidak): diterima, dikabulkan permohonannya, ketemu, dibukakan atau ditolak, tidak menemukan, dan tidak ada orang didalam rumah atau tidak dibukakan. Resiko ini akan lebih mudah kita terima bila semangat doa kita adalah semangat Maria dan Yesus sendiri, “terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Orang beriman seperti ini akan dapat mengucapkan “Pada hari aku berseru, Engkau menjawab aku, ya Tuhan,”. Ia yakin, jawaban Tuhan adalah jawaban yang terbaik bagi dirinya sesuai dengan kehendak-Nya.
Tuhan tidak pernah memberikan hal buruk kepada ciptaan-Nya. Kalau pu hal buruk Ia izinkan terjadi, beberapa adalah bentuk konsekuensi dari perbuatan manusia sendiri. Seperti contoh Longsor, banjir terjadi karea bumi di lingkungan yang semakin dirusak lewat penebangan dan pembakaran hutan yang liar, membuang sampah sembarangan, kurangnya lahan resapan air, dan sebagainya. Maka mari kita menyadari dan mengkoreksi gaya hidup kita setiap hari. Terlebih ketika kesulitan hidup mulai menghampiri kita, ketika kita merasa sulit membuat pilihan-pilihan yang benar, apakah kita tetap taat pada kebenaran Tuhan? Dibalik kasih-Nya yang tidak terbatas, Tuhan juga memiliki sikap tegas dan adil, sehingga setiap perbuatan kita akan selalu diikuti oleh konsekuensinya.
Keyakinan kita akan Allah yang memberikan yang terbaik untuk kita memungkinkan kita untuk senantiasa menghasilkan yang terbaik dalam kehidupan kita. Kita bisa membangun hubungan yang dewasa dengan sesama, yang bebas dari berbagai “penyakit” yang cenderung menuntut orang lain untuk melakukan yang terbaik untuk kita. Kita bukan lagi pribadi yang menuntut dan menuntut, melainkan orang yang berkurban dan berjuang untuk menghasilkan yang terbaik bagi orang lain. Hidup adalah perjuangan, kita berjuang sebagai anak Allah, dan berjuang bersama saudara atau saudari kita, dalam Allah.