“Janganlah kamu menghakimi!”. Yesus menyadarkan para murid-Nya akan salah satu kecenderungan dasar manusia yang bisa menyebabkan kegagalan bagi dirinya dalam membangun hidup yang bermutu. Manusia cenderung memandang orang lain diluar dirinya, dan pandangan itu tidak pernah bersikap netral, karena serta merta menilai sesamanya dengan sudut pandang tertentu. Dalam menilai, kita cenderung memperbanyak kelemahan atau keterbatasan seseorang, dan jarang mengembangkan aspek positif dan keunggulan orang tersebut. Penilaian itu acapkali disertai dengan suatu penghakiman yang kejam, yakni membebankan hal-hal negatif kepada yang dinilai sehingga hal itu menjadi semacam stigma bagi orang yang bersangkutan.
Tanpa perlu dikatakan, salah satu aturan yang sering diterapkan dalam hubungan antarmanusia adalah “aturan emas” (atau ungkapan yang lebih umum: “hukum yang paling utama”). Inti dari “aturan emas” adalah : lakukan apa yang kita ingin orang lain lakukan kepada kita.
dalam bacaan Injil hari ini, Yesus kembali mengingatkan para murid-Nya akan aturan tersebut. Namun, kali ini yang lebih ditekankan Yesus adalah agar kita tidak saling menghakimi dan saling menghukum. Penghakiman itu hak dan kuasa Allah. Tidak ada gunanya kita menghakimi orang lain. Kita tidak akan menjadi manusia yang lebih baik apabila kita biasa menghakimi sesama kita. Kitapun tidak menjadi saleh setelah menghakimi sesama karena motif apapun. Mari kita basmi kebiasaan menghakimi sesama agar energi dan perjuangan hidup kita tidak dikuras untuk hal yang tidak ada faedahnya. Terkadang banyak sahabat berubah menjadi musuh setelah menjadi korban penghakiman dari sesamanya.
Janganlah menghakimi karena apabila kita tidak lagi menghakimi sesama, perilaku kita terhadap sesama akan berubah dengan sendirinya karena tiada lagi ketegangan sebagai efek dari saling menghakimi. Hubungan antarsesama menjadi lebih kaya karena setiap pribadi telah bebas dari aneka kepentingan diri dan bisa leluasa memberikan diri satu sama lain. Hidup menjadi tenang karena diri tidak dibebani dengan aneka kriteria untuk menghakimi atau upaya pembentengan diri, sebab orang yang menghakimi, akan dihakimi.
Sebagai utusan Bapa, Yesus selalu ingin mewujudkan Kasih Bapa demi kebahagiaan manusia. Yesus menegaskan sikap manusia dalam mewujudkan kebahagiaan itu. Dengan jelas Yesus mengajarkan sikap yang benar terhadap sesama. Ungkapan ‘murah hati’ tidaklah sekedar ucapan bibir namun harus nyata dalam hidup harian kita. Yesus berusaha membuka mata kita bahwa Bapa sendiri sudah murah hati terhadap kita dengan menerima kita kembali. Sikap itulah yang perlu kita miliki karena kita sudah dijadikan anak-anak Bapa yang murah hati. Memang mengatakan bersikap murah hati itu mudah. Namun kenyataan sering berbeda karena manusia memiliki banyak kelemahan. Namun janganlah lupa kita telah diberi Roh Allah sendiri sehingga kita dapat melakukan yang baik. Kita tidak boleh hanya berhenti pada kemanusiaan atau kelemahan kita saja.
Hendaknya kita meneladani Tuhan yang maharahim dan maha pengampun. Ia senantiasa murah hati dan setia kepada umat-Nya. Meskipun kita sering kali tidak setia, Allah tetap setia. Meskipun kita sering kali berdosa, Allah tetap menanti pertobatan kita.
Kemurahan hati Tuhan nampak dalam kesiapsediaan melayani kebutuhan umat, dalam pengampunan dan kerahiman ganti hukuman dan penghakiman; dalam menyambut pendosa dan bersolider dengan yang kecil lemah, sakit bahkan mati. Yesus meminta kita menjadi pengikut-Nya, meneladani Dia; kemurahan hati nampak dalam belaskasih, pengampunan, tanpa kekerasan, dalam pemberian yang melimpah bahkan Yesus menjanjikan ganjaran yang tak kalah melimpah. Marilah kita mulai bermurah hati, mulai dari sesungging senyum, sejumput waktu, sebait sapa dan serangkaian tindakan.